Diektik ulang
Arif Burhan sewaktu kaum kristiani merayakan hari Natal, pada tahun 2015
______
Sudah hampir nyata berlakunya Hukum-Dialektika, yang berupa thesis, anti-thesis dan synthesis dalam ribuan tahun majunya masyarakat seluruhnya manusia di dunia dalam garis besarnya.
Sebagian thesis (awal) maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapati hampir di seluruhnya dunia pada zaman komunisme-asli.
Sebagai anti-thesis (pembatalan) maka masyarakat komunisme asli tadi terbelah dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar kerjasama terhadap milik-perseorangan, pokok antara kelas tak berpunya, tetapi bekerja melawan klas berpunya, tetapi tiada bekerja. Keadaan begini terdapat pada tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu (1) tingkat masyarakat budak (slave) (2) masyarakat feodal dan (3) masyarakat kapitalisme.
Sebagai synthesis (kebatalan-pembatalan), maka masyarakat manusia di seluruh dunia sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern. Di sini pertentangan di dalam masyarakat kapitalisme, ialah pertentangan di antara kerja-bersama oleh yang tak berpunya melawan milik perseorangan oleh yang berpunya, tetapi tiada bekerja, akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern yang (seperti masyarakat sosialisme) berdasar akan kerja-bersama dan milik bersama atas alat dan hasil (produksi).
Dipandang dari sudut pemerintah, sejajar dengan cara menghasil dan cara memiliki hasil itu tadi, makapada zaman komunisme-asli “rakyat bersenjata itu bertindak sendiri”nya (untuk menentang musuhnya), pada zaman berklas, maka klas dalam masyarakat memaksakan kemauannya atas klas yang lain dalam masyarakat itu sendiri; akhirnya ke akhirnya kelak, pada zaman komunisme moderen, maka seluruhnya manusia akan menjadi pekerja masyarakat merundingkan persoalan masyarakat, melaksanakan putusan ebrsama dan sendiri bertindak (pada awal komunisme masih perlu bertindak dengan keras) menjaga keberesan jalannya semua urusan masyarakat.
Pada tingkat komunisme terakhir (fase yang tertinggi), maka Negara (state), sebagai alat penindas oleh satu klas atas klas yang lain hilang lenyap (withering away), karena tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat; tak ada lagi klas yang akan ditindas. Sifat memerintah sudah bertukar menjadi sifat mengatur dan mengawasi pekerjaaan masyarakat, oleh dari dan untuk masyarakat itu sendiri, atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya semua kebiasaan yang diperlukan oleh fase komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam fase komunisme yang pertama, ialah fase sosialisme, yang didiktatori oleh kaum pekerja.
Proses (lakon yang berupa 1/2 komunisme-asli) -masyarakat berklas – komunisme modern-itu bukanlah peredaran dalam sesuatu lingkungan tertutup (circle), melainkan satu peredaran dalam satu lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme modern, sebagai ujung proses (synthesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan Dialektika pula (dalam badannya sendiri!), komunisme moderen itu, akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik daripada segala sifat yang terapat pada komunisme asli (pada thesis!).
Kerja-bersama pada komunisme-moderen, adalah kerja bersama yang lebih rational (teratur) dengan alat (mesin, listrik dan kodrat kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme-asli. Milik bersama atas hasil (produksi) adalah milik bersama atas hasil yang beribu juta kali lipat ganda banyak, sifat serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tanagn dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Perhubungan antara manusia dengan manusia di zaman komunisme moderen, adalah perhubungan yang tiada memandang kulit, darah dan kekeluargaan (suku) lagi, seperti pada zaman komunisme-asli, melainkan perhubungan yang luas, berdasarkan perikemanusiaan yang sejati.
Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman dan perbendaharaan yang diperoleh seluruhnya dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruhnya manusia dalam puluhan, bahkan ratus ribuan tahun.
Yang boleh memberi jaminan kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxistis, terutama dalam suatu revolusi, ialah 1. cara penyelesaian yang dialektis (cocok dengan hukum pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin), 2. tafisran yang materialistis (berdasarkan kebendaan), bukan yang idealistis (khayal) dan 3. semangat yang revolusioner, bukan kontra revolusioner, maju ke depan, bukan mundur kembali kepada keadaan lama.
Maka ujian yang terakhir tentang salah benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan oleh golongan yang berkepentingan sendiri yakni:
Pertama: Dalam soal revolusi nasional, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan kehidupannya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.
Kedua: Dalam hal revolusi borjuis, apakah klas borjuis yang tertekan oleh klas feodal dalam masyarakat feodal tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat borjusi sesungguhnya mendapatkan kekausaan dari menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kals borjuis.
Ketiga: Dalam hal revolusi-proletar, apakah klas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan tindasan borjuasi (feodalis) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang menuju ke arah komunisme.
Demikianlah pentingnya tafsiran (interpretation) tantangan revolusi, yang harus kita uraikan kepada Revolusi Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada tafsiran itulah kelak kita harus menyandarkan teknik strategi serta sikap dan tindakan yang akan diambil untuk membela revolusi itu.
Memperhatikan semua revolusi baik revolusi klas melawan klas (klas borjuis melawan klas feodal, seperti di Perancis tahun 1789) ; proletar melawan feodal-borjuis, sepeti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi-kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun 1776-1782), maka selayang padanag tampaklah; ” Bahwa timbulnya revolusi itu adalah pada suatu krisis, dimana pertentangan ekonomi, sedikit demi sedikit bertukar menjadi peretempuran ekonomi, sedikit demi sedikit menjadi pertempuran. Revolusi itu jaya, apabila di masa krisis tadi nyata, yang lama tak sanggup menyususn dan mengerahkan Murba, serta sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban sebesar-besarnya.”
Saya tegaskan lagi: definisi di atas ialah sekedar untuk meliputi semua jenis revolusi! kalau dilakukan pada masyarakat Indonesia maka kita akan peroleh sebagai berikut:
Yang lama, yakni Belanda dan Jepang tak sanggup lagi mengatur dan yang baru (terutama Pemuda Indonesia) pada krisis 17 Agustus sanggup menyusun dan mengerahkan Murba dan membangunkan Republik dengan tiada memandang korban.
Proses pertentangan dalam kebangsaan, sosial, politik dan kebudayaan Indonesia berlaku setelah masyarakat komunisme asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarich Masehi, lama-kelamaan (karena pengaruh saudagar Hindu) bertukar menjadi negara Feodal berdasarkan Hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Mojopahit. Kedua negara feodal tersebut tentulah tiada berapa berbeda susunan dan politiknya dengan negara feodal yang lain-lain di atas bumi ini. Dalam masyarakat komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atas dasar kekeluargaan, permusyawaratan dan tolong-menolong. Di dalam masyarakat feodal maka negara itu sudah tiada luput lagi daripada sifat penindas, oleh satu golongan atas golongan lain, seperti sifatnya sesuatu negara menurut tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat Murba di zaman Sriwijaya dan Mojopahit itu ialah bangsa Indonesia, sedangkan di klas atasnya ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penindas) dan urusan agama terdapat bangsa Hindu asli atau campuran dengan bangsa Indonesia. Pada masa runtuhnya Majapahit, maka pada klas atas itu terdapat pula bangsa Arab, asli dan campuran. Berturut-turut Hindu dan Indo-Hindu serta Arab dan Indo-Arablah pula yang mengendalikan dan mempengaruhi perekonomian terutama perdagangan Indonesia dengan Negara luar.
Pada permulaan abad ke-17 imperialisme-dagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonomian feodal Hindu Arab di Indonesia dan menimbulkan perekonomian kolonial, yang tak ada bandingannya di dunia ini. Produksi tingkat manufaktur yang terdapat di Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme-awal (pre-capitalisme) di Eropa yang lebih tinggi derajatnya daripada sistem produksi yang terdapat di Indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula. Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh Belanda kepada rakyat Indonesia. Pengangkutan barang dagang dari pulau ke pulau dan dari Indonesia ke Eropa di monopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka semua kebun moderen, semua tambang, semua pabrik, semua alat pengangkutan, semua bank dan insuransi dan semua perdagangan export dan import boleh dikatakan berada sama sekali di tangan Belanda, Tionghoa, Arab, Amerika, Inggris, Belgia, dan lain-lain.
Dengan timbulnya pemerasan bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem-roofbouw (perampokan tenaga) menurut sistem Daendels, maka timbullah satu negara jajahan, yang tiada mengenal perikemanusiaan sama sekali. Pekerjaaan membikin jalan dari Anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas Belanda ialah tentara penjajahan, dipaksakan dengan kejam dan sonder bayaran oleh Belanda atas bangsa Indonesia di masa itu memperlakukan satu negara kolonial, dengan alat penindas yang amat kejam dan keji.
Alat-penindas negara jajahan tak berkurang keji-kejamnya dengan pertukaran sistem rodi a la Daendels tadi dengan sistem rodi cultuur stelsel (tanam paksa) a la van den Bosch. Memang ada peraturan yang tertulis di atas kertas, berhubung dengan cultuur stelsel itu (berapa tanahnya yang harus ditanami kopi dan lain-lain dan berapa yang boleh ditanami dengan padi dan lain-lain), tetapi dalam prakteknya tani Indonesia terpaksa menanami tanahnya buat barng dagang Belanda dan mengerahkan semua tenaganya buat pengisi kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah perdagangan Indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, petani Indonesia (Jawa) bertukar emenjadi kuli dan kaum Sunan, Sultan, raja dan ningrat di seluruhnya Indonesia bertukar menjadi mandor pabrik-pabrik, pengairan dan jurutulis dalam kantornya semua alat penindas Belanda.
Sistem cultuur-stelsel, yang lambat laun didorong oleh perubahan teknik di Eropa, terpaksa pula dirobah menjadi sistem vrije arbeid (kerja merdeka) a la Malefeit. Seperti sudah kita sebut terlebih dahulu maka pada zaman budak-slave, kaum budak, karena tidak ebrhak atas apa-apa, bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri itu, tiada memperdulikan alat, pekerjaaan serta hasil pekerjaaannya. Sedikitpun tidak mereka memperliahatkan initiatip. Bersama dengan sistem kerja merdeka, a la borjuis, maka kaum proletar lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menunjukkan initiatip, ialah karena jaminan hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah pula penukaran sistem cultuur stelsel dengan sistem vrije-arbeid itu membawa perubahan semangat kerja kuli Indonesia. Seperti pula proletar industri di Eropa memerlukan sekolah dan latihan buat proletaris, yang harus melayani mesin itu, begitulah rakyat Indonesia harus sekedarnya diberi latihan dan pelajaran sekolah.
Bersama dengan tumbangnya kekuasaan feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni negara feodal. Dengan demikian, (dalam bahasa Indonesia sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana dalam zaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima rimah yang dilemparkan oleh kaum kapitalis kepadanya itu, demikianlah pula para ningrat-penganggur sudi menerima sembarang “pekerjaan” yang dilemparkan oleh Belanda penjajahan kepadanya. Mereka dijadikan anggota B.B. ambtenaren (pangreh praja). Dari bupati sampai ke lurah, dari sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara dan algojo semuanya itu adalah inlanders alat untuk penindas bangsanya sendiri. Di mana pada semua badan alat pemerintahan diperlukan satu reserve (cadangan) demikianlah pula alat penindas di Indonesia memerlukan dicetak oleh berjenis-jenis sekolah rendah, menengah dan tinggi pula, buat inlander-alat dalam produksi, perdagangan administrasi, ketentaraan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.
Syahdan dalam garis besarnya kita melihat pertentangan yang ada dalam amsyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942) seperti berikut:
Kaum berpunya, yang terdiri dari bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan telunjuknya, tetapi memiliki alat dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya, ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi hidup dengan rimah yang dilemparkan kepadanya.
________
Tulisan ini saya ketik ulang dari buku yang disunting oleh Frederick dan Soeroto (Pemahaman Sejarah Indonesia, tahun 1984 cetakan kedua). Petikan tulisan Tan Malaka ini bersumber dari buku Tan Malaka, Pandangan Hidup (Jakarta: Widjaja, 1952), hal. 70-72, 84-89.