Pentingnya Materialisme Dialektika Dipelajari Seri II

Posted: Maret 24, 2024 in Tidak Dikategorikan

Terhadap filosofi agung materialisme dialektika sebagai jalan fikir tidak hanya penting untuk diketahui, namun efeknya tentu akan besar dalam kehidupan kita. Sekarang kita tinjau mereka, saudara kita yang masih dalam tirai lama cara berfikir ketuhanan atau alami. Bagaimana keadaan orang-orang dengan jalan berfikir kuno idealis yang nerimo keadaan dan bersikap pasrah masa bodoh itu? Atau menyerahkan segala persoalan sebagai kehendak sang hyang roh itu? Tentu mereka tidak akan berubah hidupnya karena mereka tidak terdorong untuk bergerak. Kalau semuanya dikembalikan kepada kemauan, kehendak, bahkan milik Sang hyang roh, segala persoalan dan jawaban bakal selesai! titik! Sayangnya kawan, gagasan ini akan menyebabkan kita mandeg, stagnan, nihil kemajuan.

Ciri dari pemikiran idealis itu bercorak inkonsisten! Mereka bilang, “Kawan, sementara kita berdo’a namun juga wajib bekerja atau berikhtiar? Bagi kita materialis dialektik bolehlah pertanyaan ini kita susulkan, “Apa gunanya ikhtiar kalau Roh merupakan tempat meminta?” dst.dst. Logika mereka, hanya sebuah lingkaran ingkar yang konyol!

Pekerjaan dalam Kehidupan

Badingan Negara Makmur dan Miskin

Atas situasi kemiskinan dan keadaan yang sulit secara ekonomi di negara kita yang kaya secara sumberdaya dengan mereka yang makmur dan maju secara peradaban, dapat kita lihat dari perkembangan ilmu teknik. Itulah fungsi kemampuan berfikir sesungguhnya, agar hidup kita dengan persoalannya terpecahkan. Di negeri kapitalis ilmu teknik telah dipelajari dengan seksama, setiap hari selalu ada saja penemuan dan pengembangan berbagai peralatan/ tools. 

Sementara itu kebudayaan di negeri-negeri Timur sangatlah masih sulit karena kungkungan adat dan budaya yang tak merangsang manusia berfikir. Terhadap perubahan

Antologi Puisi: Manifesto Surealisme

Posted: Januari 5, 2022 in Tidak Dikategorikan

Senja,
Adalah tubuh dan ruang,
dimana obak dan wuduj perahu
bisa dibangkitkan
dalam pikiran,

kami maknai laut ini,
dengan segenap perasaan, di pusat mata
laut bias dan dangkal.

Kami tergoda oleh kejahatan
dan teka-teki-membongkar kebahagiaan
di balik candi, memberi lebih banyak arti;
rasa bersalah yang tak mungkin berubah
kulit kami.

Kami tergoda oleh kejahatan
dan teka-teki-membongkar kebahagiaan
di balik candi, memberi lebih banyak arti;
rasa bersalah yang tak mungkin berubah
kulit kami.

berpikir dengan mata mabuk,

kami ingat masa kanak:

rasa ingin tahu yang garang.

Kami dengar, ketika malam turun dan merentangkan tangan gaibnya-yang memulai sebuah zaman, tubuh keramik tua.

Waktu raib, dan kami berkelepak ke angkasa, dimana semua
wujud terlihat mengambang; pikirna kami bagai mati rasa, bagai hidup sekaligus berkhianat,

Menjadi lagu di kebun-kebun tebu,
bayangan kami jadi berbahaya, menyala,
melihat bumi yang berpakaian
sekaligus telanjang!

Kami bentuk terowongan telinga,
mendengar pikiran, peristiwa-peristiwa di siang hari.
Perasaan kami begitu gaib!

Kuburan bagi masa lalu. Ngeri yang kembali terjadi. Ingatan menjadi isyarat-isyarat. Di jalan perbatasan, kami setengah mabuk dan tertatih, dan masih mencoba untuk merintih,
luka, luka kami -_
demikian pada akhirnya: kami menyadari
apa yang tersurat di tanah tandus ini;
matahari bagai mencekik diri!

Kami rasakan tubuh kami bicara,
kemiskinan!

Nyeri tetap terjadi,
menusuk
seperti retakan tanah, memncil!

Kebimbangan kami menggugurkan daun-daun,
tapi bukan mengulangi apa yang pernah
di tulis-pada candi, air kolam, revolusi-

Kami tatap kota-kota di senja ini;
gadis yang meleleh ke arah barat,
yang gemetar, seperti garis-garis gerimis
membayang tegak tapi tak kokoh!

Inilah ziarah yang menjemput kami, jalan pulang bagi pikiran,
menangisi waktu lewat isak tak terbaca,
tangis yang membasahi rumput-mengisi ruang;
seperti puisi,
keteguhan kami begitu dalam. Adalah mayat yang terkubur tapi tak mati, yang bisa mengingat, seperti kunang tengah malam.

Dengan tubuh gemetar,
kami sentuh relief candi,
membekaskan hasrat unutk mengerti,
seperti pantulan di air kolam,
kami bentuk riak air tanpa mengusik
kedalaman dasarnya.

Kami hanyut oleh rasa takut,

merenungi musim panas, mengenali sunyi dan ketiadaan. kami mungkin bersalah
telah memanggil masa lalu dari tidurnya;
kecemasan yang bergetah-

Inilah jalan pulang bagi pikiran,

perasaan kami seperti karnaval,
yang mencatat kejujuran usang
di bumi. Sedang jalan di depan
adalah neraka, candu-

sentuhan kami membentuk ruang,
dalam diam, dalam pahatan relief,
detak yang telah retak, oleh waktu yang bergerak dalam gelap!

(Ngagel, 1999/2002)

Pentingnya Dialektika Materialisme Dipelajari

Posted: Agustus 10, 2019 in Tidak Dikategorikan
Tag:

Menemukan manusia menjemukan dimana berfikir dan berbicara tanpa fondasi pemikiran (epistemologis) yang kokoh jamak kita temui setiap hari. Jawaban fatalis berjubel menghadapi kondisi kekalutan ekonomi yang dialami. Sulitnya ekonomi karena “kurang bersyukur”, atau bahwa kita bekerja bukan untuk merubah keadaan, bahwa terkait rejeki, umur dan nasib sudah ada yang mengatur, manusia tidak punya kuasa apapun. Fatalisme ini jamak kita terima. Ini sungguh situasi nyata betapa di tingkat gagasan, kita belum clear. It’s a time for stopping it now!

Inilah saatnya revolusi berfikir bahwa keberadaan benda-benda itulah yang membentuk gagasan kita. ‘Materi buah berbentuk lonjong panjang berwarna kuning’ itu yang melahirkan gagasan kita akan ‘pisang’. Bahwa ide manusia terlahir karena benda-benda inilah materialisme. 

Kemudian dialektika, dialektika melihat gerakan saling bentur dan perlawanan. Bahwa setiap tesa akan melahirkan antitesa. Laki-laki dan perempuan, kiri dan kanan. 

Saya ulang lagi sebab kita tak beranjak mentas dari penyakit jaman kegelapan

Itu karena kita tidak berfikir material dialektis! Inilah kelemahan kita!

Di dalam tulisan ini saya akan membuka kembali gagasan berfikir material dialektis secara pendek.

  1.  Kita telah lama tenggelam dalam pikiran bahwa kesejatian berasal dari dunia roh. Inilah pemikiran kuno yang masih dianut kalangan kaum kita sementara di barat yang maju. Gagasan ini sudah usang.
  2. Materialisme dialektika merupakan kritikan atas berbagai jalan berfikir yang membikin pusing kepala, namun tidak mampu menyentuh kondisi riil kehidupan. 
  3. Bahwa hidup senyatanya adalah proses material sepenuhnya. Tidak ada yang terjadi atau berlangsung karena jatuh dari langit. Semua terjadi karena ada kerja persinggungan antar material. Itulah kenapa materialisme tidak cocok dengan diskusi yang berakhir jagongan saja. Semua harus ada praktik dan bukti yang terlihat sebagai ukuran. 

Mari kita bandingkan filosofi materialisme dialektis ini dengan filosofi lain yang memberi penjelasan masalah duniawi dengan rasionalisasi tentang surga, neraka, baik, buruk atau konsepsi absurd lain. Materialisme dialektik mendasarkan pada gejala dunia sebagai gerak materi. 

to be continued..

  

Listening to For Mom(Early Version) by Buckethead

Posted: Mei 8, 2016 in Tidak Dikategorikan

Mengalami hidup setauku menyimpan sisi gelap yang kerapkali muncul menyetan, dan hal itulah yang kini sedang kutekan.

Sebab, sebuah hasil membeku janji ke handai taulan telah ditancap dan urung dijilat. Material, telah tertumpuk menunggu disela untuk diracik, olah, hidangkan dan bungkam.

Ooh,
Keajaiban datanglah kau bersamaku di do’a-do’a waktu ini, diantara asap nikotin membuhul dan mengepul diantara tombol, diiring kertas yang tercabik-serak ditumpah gelas-gelas kafein.

Hope,
Hidup setelah lalu, kini dan nanti, aku ingin melihatnya dalam keruwetan yang tak mungkin sederhana namun sanggup takluk dalam kuasaku.

Oh Lord, give me a midnight with a dancing stars..

Listening to For Mom(Early Version) by Buckethead

Preview it on Path

BURUH

Posted: April 13, 2016 in Klasik Indonesia, PUISI
Tag:, ,

12650395_10205921735587801_1929790259_n

Dok. Purwanto, 2016

Aku buruh kuli pabrik,
Bermandi peluh saban hari,
Kerja berat, kurang makan;
Bila ku jatuh sakit,
Anakku menangis kelaparan,
Tidak satupun turun tangan!

Kemana aku minta keadilan,
Agar masyarakat turut merasa
Pahitnya hidup buruh derita?

Aku buruh kuli pabrik,
Tidak meminta kaya raya,
Asalkan dibela hidup pahit;
Ni’mat dunia ingin merasa,
Makan, pakaian terjaga segala,
Hidup seperti manusia biasa.

Aku buruh kuli pabrik,
Kerja keras tiada lalai,
Kalau aku jatuh sakit,
Rumah tanggaku hancur berderai!

DALI MUTIARA
(dari GEMA TANAH AIR)
Disadur dari buku Slametmulyana, Bimbingan Senisastra, JB Wolters, Groningen, 1951 oleh Arif Burhan tidak untuk tujuan komersial.

Mencari Suatu Pola Sejarah : Tan Malaka*

Posted: Desember 24, 2015 in Tidak Dikategorikan

Diektik ulang
Arif Burhan sewaktu kaum kristiani merayakan hari Natal, pada tahun 2015
______

Sudah hampir nyata berlakunya Hukum-Dialektika, yang berupa thesis, anti-thesis dan synthesis dalam ribuan tahun majunya masyarakat seluruhnya manusia di dunia dalam garis besarnya.

Sebagian thesis (awal) maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapati hampir di seluruhnya dunia pada zaman komunisme-asli.

Sebagai anti-thesis (pembatalan) maka masyarakat komunisme asli tadi terbelah dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar kerjasama terhadap milik-perseorangan, pokok antara kelas tak berpunya, tetapi bekerja melawan klas berpunya, tetapi tiada bekerja. Keadaan begini terdapat pada tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu (1) tingkat masyarakat budak (slave) (2) masyarakat feodal dan (3) masyarakat kapitalisme.

Sebagai synthesis (kebatalan-pembatalan), maka masyarakat manusia di seluruh dunia sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern. Di sini pertentangan di dalam masyarakat kapitalisme, ialah pertentangan di antara kerja-bersama oleh yang tak berpunya melawan milik perseorangan oleh yang berpunya, tetapi tiada bekerja, akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunisme modern yang (seperti masyarakat sosialisme) berdasar akan kerja-bersama dan milik bersama atas alat dan hasil (produksi).

Dipandang dari sudut pemerintah, sejajar dengan cara menghasil dan cara memiliki hasil itu tadi, makapada zaman komunisme-asli “rakyat bersenjata itu bertindak sendiri”nya (untuk menentang musuhnya), pada zaman berklas, maka klas dalam masyarakat memaksakan kemauannya atas klas yang lain dalam masyarakat itu sendiri; akhirnya ke akhirnya kelak, pada zaman komunisme moderen, maka seluruhnya manusia akan menjadi pekerja masyarakat merundingkan persoalan masyarakat, melaksanakan putusan ebrsama dan sendiri bertindak (pada awal komunisme masih perlu bertindak dengan keras) menjaga keberesan jalannya semua urusan masyarakat.

Pada tingkat komunisme terakhir (fase yang tertinggi), maka Negara (state), sebagai alat penindas oleh satu klas atas klas yang lain hilang lenyap (withering away), karena tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat; tak ada lagi klas yang akan ditindas. Sifat memerintah sudah bertukar menjadi sifat mengatur dan mengawasi pekerjaaan masyarakat, oleh dari dan untuk masyarakat itu sendiri, atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya semua kebiasaan yang diperlukan oleh fase komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam fase komunisme yang pertama, ialah fase sosialisme, yang didiktatori oleh kaum pekerja.

Proses (lakon yang berupa 1/2 komunisme-asli) -masyarakat berklas – komunisme modern-itu bukanlah peredaran dalam sesuatu lingkungan tertutup (circle), melainkan satu peredaran dalam satu lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme modern, sebagai ujung proses (synthesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan Dialektika pula (dalam badannya sendiri!), komunisme moderen itu, akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik daripada segala sifat yang terapat pada komunisme asli (pada thesis!).

Kerja-bersama pada komunisme-moderen, adalah kerja bersama yang lebih rational (teratur) dengan alat (mesin, listrik dan kodrat kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme-asli. Milik bersama atas hasil (produksi) adalah milik bersama atas hasil yang beribu juta kali lipat ganda banyak, sifat serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tanagn dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Perhubungan antara manusia dengan manusia di zaman komunisme moderen, adalah perhubungan yang tiada memandang kulit, darah dan kekeluargaan (suku) lagi, seperti pada zaman komunisme-asli, melainkan perhubungan yang luas, berdasarkan perikemanusiaan yang sejati.

Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman dan perbendaharaan yang diperoleh seluruhnya dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruhnya manusia dalam puluhan, bahkan ratus ribuan tahun.

Yang boleh memberi jaminan kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxistis, terutama dalam suatu revolusi, ialah 1. cara penyelesaian yang dialektis (cocok dengan hukum pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin), 2. tafisran yang materialistis (berdasarkan kebendaan), bukan yang idealistis (khayal) dan 3. semangat yang revolusioner, bukan kontra revolusioner, maju ke depan, bukan mundur kembali kepada keadaan lama.

Maka ujian yang terakhir tentang salah benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan oleh golongan yang berkepentingan sendiri yakni:
Pertama: Dalam soal revolusi nasional, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan kehidupannya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.
Kedua: Dalam hal revolusi borjuis, apakah klas borjuis yang tertekan oleh klas feodal dalam masyarakat feodal tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat borjusi sesungguhnya mendapatkan kekausaan dari menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kals borjuis.
Ketiga: Dalam hal revolusi-proletar, apakah klas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan tindasan borjuasi (feodalis) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang menuju ke arah komunisme.

Demikianlah pentingnya tafsiran (interpretation) tantangan revolusi, yang harus kita uraikan kepada Revolusi Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada tafsiran itulah kelak kita harus menyandarkan teknik strategi serta sikap dan tindakan yang akan diambil untuk membela revolusi itu.

Memperhatikan semua revolusi baik revolusi klas melawan klas (klas borjuis melawan klas feodal, seperti di Perancis tahun 1789) ; proletar melawan feodal-borjuis, sepeti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi-kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun 1776-1782), maka selayang padanag tampaklah; ” Bahwa timbulnya revolusi itu adalah pada suatu krisis, dimana pertentangan ekonomi, sedikit demi sedikit bertukar menjadi peretempuran ekonomi, sedikit demi sedikit menjadi pertempuran. Revolusi itu jaya, apabila di masa krisis tadi nyata, yang lama tak sanggup menyususn dan mengerahkan Murba, serta sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban sebesar-besarnya.”

Saya tegaskan lagi: definisi di atas ialah sekedar untuk meliputi semua jenis revolusi! kalau dilakukan pada masyarakat Indonesia maka kita akan peroleh sebagai berikut:
Yang lama, yakni Belanda dan Jepang tak sanggup lagi mengatur dan yang baru (terutama Pemuda Indonesia) pada krisis 17 Agustus sanggup menyusun dan mengerahkan Murba dan membangunkan Republik dengan tiada memandang korban.

Proses pertentangan dalam kebangsaan, sosial, politik dan kebudayaan Indonesia berlaku setelah masyarakat komunisme asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarich Masehi, lama-kelamaan (karena pengaruh saudagar Hindu) bertukar menjadi negara Feodal berdasarkan Hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Mojopahit. Kedua negara feodal tersebut tentulah tiada berapa berbeda susunan dan politiknya dengan negara feodal yang lain-lain di atas bumi ini. Dalam masyarakat komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atas dasar kekeluargaan, permusyawaratan dan tolong-menolong. Di dalam masyarakat feodal maka negara itu sudah tiada luput lagi daripada sifat penindas, oleh satu golongan atas golongan lain, seperti sifatnya sesuatu negara menurut tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat Murba di zaman Sriwijaya dan Mojopahit itu ialah bangsa Indonesia, sedangkan di klas atasnya ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penindas) dan urusan agama terdapat bangsa Hindu asli atau campuran dengan bangsa Indonesia. Pada masa runtuhnya Majapahit, maka pada klas atas itu terdapat pula bangsa Arab, asli dan campuran. Berturut-turut Hindu dan Indo-Hindu serta Arab dan Indo-Arablah pula yang mengendalikan dan mempengaruhi perekonomian terutama perdagangan Indonesia dengan Negara luar.

Pada permulaan abad ke-17 imperialisme-dagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonomian feodal Hindu Arab di Indonesia dan menimbulkan perekonomian kolonial, yang tak ada bandingannya di dunia ini. Produksi tingkat manufaktur yang terdapat di Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme-awal (pre-capitalisme) di Eropa yang lebih tinggi derajatnya daripada sistem produksi yang terdapat di Indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula. Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh Belanda kepada rakyat Indonesia. Pengangkutan barang dagang dari pulau ke pulau dan dari Indonesia ke Eropa di monopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka semua kebun moderen, semua tambang, semua pabrik, semua alat pengangkutan, semua bank dan insuransi dan semua perdagangan export dan import boleh dikatakan berada sama sekali di tangan Belanda, Tionghoa, Arab, Amerika, Inggris, Belgia, dan lain-lain.

Dengan timbulnya pemerasan bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem-roofbouw (perampokan tenaga) menurut sistem Daendels, maka timbullah satu negara jajahan, yang tiada mengenal perikemanusiaan sama sekali. Pekerjaaan membikin jalan dari Anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas Belanda ialah tentara penjajahan, dipaksakan dengan kejam dan sonder bayaran oleh Belanda atas bangsa Indonesia di masa itu memperlakukan satu negara kolonial, dengan alat penindas yang amat kejam dan keji.

Alat-penindas negara jajahan tak berkurang keji-kejamnya dengan pertukaran sistem rodi a la Daendels tadi dengan sistem rodi cultuur stelsel (tanam paksa) a la van den Bosch. Memang ada peraturan yang tertulis di atas kertas, berhubung dengan cultuur stelsel itu (berapa tanahnya yang harus ditanami kopi dan lain-lain dan berapa yang boleh ditanami dengan padi dan lain-lain), tetapi dalam prakteknya tani Indonesia terpaksa menanami tanahnya buat barng dagang Belanda dan mengerahkan semua tenaganya buat pengisi kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah perdagangan Indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, petani Indonesia (Jawa) bertukar emenjadi kuli dan kaum Sunan, Sultan, raja dan ningrat di seluruhnya Indonesia bertukar menjadi mandor pabrik-pabrik, pengairan dan jurutulis dalam kantornya semua alat penindas Belanda.

Sistem cultuur-stelsel, yang lambat laun didorong oleh perubahan teknik di Eropa, terpaksa pula dirobah menjadi sistem vrije arbeid (kerja merdeka) a la Malefeit. Seperti sudah kita sebut terlebih dahulu maka pada zaman budak-slave, kaum budak, karena tidak ebrhak atas apa-apa, bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri itu, tiada memperdulikan alat, pekerjaaan serta hasil pekerjaaannya. Sedikitpun tidak mereka memperliahatkan initiatip. Bersama dengan sistem kerja merdeka, a la borjuis, maka kaum proletar lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menunjukkan initiatip, ialah karena jaminan hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah pula penukaran sistem cultuur stelsel dengan sistem vrije-arbeid itu membawa perubahan semangat kerja kuli Indonesia. Seperti pula proletar industri di Eropa memerlukan sekolah dan latihan buat proletaris, yang harus melayani mesin itu, begitulah rakyat Indonesia harus sekedarnya diberi latihan dan pelajaran sekolah.

Bersama dengan tumbangnya kekuasaan feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni negara feodal. Dengan demikian, (dalam bahasa Indonesia sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana dalam zaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima rimah yang dilemparkan oleh kaum kapitalis kepadanya itu, demikianlah pula para ningrat-penganggur sudi menerima sembarang “pekerjaan” yang dilemparkan oleh Belanda penjajahan kepadanya. Mereka dijadikan anggota B.B. ambtenaren (pangreh praja). Dari bupati sampai ke lurah, dari sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara dan algojo semuanya itu adalah inlanders alat untuk penindas bangsanya sendiri. Di mana pada semua badan alat pemerintahan diperlukan satu reserve (cadangan) demikianlah pula alat penindas di Indonesia memerlukan dicetak oleh berjenis-jenis sekolah rendah, menengah dan tinggi pula, buat inlander-alat dalam produksi, perdagangan administrasi, ketentaraan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.

Syahdan dalam garis besarnya kita melihat pertentangan yang ada dalam amsyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942) seperti berikut:
Kaum berpunya, yang terdiri dari bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan telunjuknya, tetapi memiliki alat dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya, ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi hidup dengan rimah yang dilemparkan kepadanya.
________
Tulisan ini saya ketik ulang dari buku yang disunting oleh Frederick dan Soeroto (Pemahaman Sejarah Indonesia, tahun 1984 cetakan kedua). Petikan tulisan Tan Malaka ini bersumber dari buku Tan Malaka, Pandangan Hidup (Jakarta: Widjaja, 1952), hal. 70-72, 84-89.

Batas

Posted: Desember 17, 2015 in Klasik Indonesia, Sastra

Seperti tak ada batas
antara kehidupan dan kematian
kau pun masih hadir
dalam mimpiku, dalam ketaksadaranku

Rasanya kau memang masih ada
meski tak kutahu dimana
di kursi itu kita duduk berbincang-bincang
atau di beranda sana

Di manakah garis pemisah
antara ada dan tiada
sedang dalam ingatan engkau senantiasa ada

Hanya waktu
yang tak lagi bersamamu
telah melemparku
semakin jauh dari tempatmu

Ya, batas itu adalah waktu
yang lewat ingatan
dapat dibangun jembatan

Batas itu
adalah waktuku dan waktumu
yang semakin berjauhan

Oktober 1991
Soedjarwo

Dark December

Posted: Desember 15, 2015 in Tidak Dikategorikan

cole_thompson_14

Sumber gambar

Mendengar suara sepi
Pagi-pagi
resah
Aku kehilangan tubuh
Tubuhmu
Menguap seperti kabut pagi
diantara aspal
sehabis basah menderas

aku tak takut pada hidupku
sendiri
aku takut menjadi penganut
dari kepercayaan yang turun dengan berisik

Semarang, Sore hari 15/12/2015

Sebuah Eksplorasi untuk Ben Anderson (1936-2015)

Posted: Desember 14, 2015 in Tidak Dikategorikan

Siang Hari, Tiga Belas Desember 2015 seorang Indonesianis dan sejarawan ahli Asia Tenggara Ben R’OG Anderson meninggal di Jawa Timur, tepatnya kota Batu-Malang. Ia meninggal karena mendadak terserang suatu penyakit  sesaat setelah berbaring di sebuah hotel. Ben melewati masa 79 tahun yang penuh arti terutama secara akademis. Imagined Communities: Reflections on the Orogins and Spread of Nationalism yang terbit pada tahun 1983 terjual seperempat juta kopi, dan diterjemahkan lebih dari 20 bahasa. Buku terbitannya itu, kini menjadi buku babon dalam studi terkait tema gerakan nasional.

Sekali lagi, kita perlu angkat topi atas sumbangan-sumbangan Ben dalam memperkaya khasanah pengetahuan sosial politik di tanah air dan dunia. Selamat jalan Ben…

Komunitas Terbayang/ Imagined Communities begitu kesimpulan yang dibuat Ben untuk melihat negara bangsa/ nation state.  Kemudian saya jadi berfikir bahwa Ben telah melakukan petualangan intelektual mendalam tentang konsep nasionalisme. Ben telah cukup jauh tidak hanya mengambil potret-potret pemikiran daripara pendahulunya, namun lebih jauh Ben melihat fenomena nasionalisme dari perspektif yang ia kembangkan sendiri di tangannya.

Terus terang saja saya merasa suka dengan orang yang diusir Soeharto dari Indonesia ini karena saya kira ia seorang Marxist atau Anarkis. Ben secara intelektual memiliki kemiripan dengan James C. Scott yang radikal dalam berfikir dan mengembangkan pengetahuannya dengan berbagai penelitian di Asia Tenggara. Bahkan sebagai seorang sejarawan sosial politik Ben jauh lebih nekat berani menerabas mengecam status quo, bahkan sampai ia diusir oleh pemerintah dari negeri yang mana ia teliti (Riset doktoralnya tentang kup 1965 membuat Soeharto marah).

Epistemologi Teoritik Ben

Mendekati pemikiran Ben, saya ingin melakukan pembacaan dan perbandingan Ben dalam berbagai karyanya. Dimulai dari Imagined Communities (1983), The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World (1998), The Age of Globalization (2013), dan A Life Beyond the Boundaries: A Memoir (2015).

Pemikiran sarjana kampus Amerika Serikat  (ben lahir di China belajar di Inggris dan mengajar di AS) seringkali harus berbau liberal dan anarkis (negara kapitalis). Ben tidak bisa dengan mudah kita masukkan ke dalam kategori seperti itu. Ben orang yang cukup ilmiah sehingga nampak hati-hati dalam menyusun pemikirannya. Ben dalam rangkaian pemikirannya mengawinkan ide Marxist dengan kolonialisme. Kesimpulan Ben bahkan sama dengan kebanyakan sejarawan Marxist dimana nasionalisme menjadi antitesa dari realitas imperialisme kolonial di masa lalu.

Saya seringkali cepat ‘mengendus’ bau liberal ini dari pengalaman belajar di Fisipol di sebuah universitas di Indoneisia. Di sana, banyak hegemoni dinisbatkan kepada mahasiswa oleh para intelektual kampus. Dari akademisi Amerika Serikatlah muasal dari tuduhan jika banyak negeri dunia ketiga sebagai kurang demokratis, otoriter, irasional dan lain sebagainya untuk bersembunyi dibalik imperialisme ekonomi yang dilakukan.

Nama-nama seperti Duverger, Verba, Lucian Pye adalah deretan akademisi politik Amerika yang saya kira hanya menyalahkan negara-negara dunia ketiga sebagai obyek demokratisasi yang menjadikan banyak ilmuwan politik tanah air ‘mandul’.  Pun begitu, harus diakui jika beberapa sarjana barat cukup jujur dan adil sehingga menghasilkan karya yang orisinil dan bermanfaat dalam menjelaskan peristiwa kebangkitan nasional dan fenomena sosial di tanah air.

Ben dalam Teori dan Kritik

Sebelum membuka kritik pemikiran, kita perlu melakukan penjelajahan atas gagasan Ben lebih dahulu tentang negara bangsa sebagai komunitas terbayang. Dari buku Imagined Communites Ben mengatakan jika,negara bangsa sebagai sebuah imajinasi komunitas politik (1983: 6) dengan alasan, jika negara-bangsa sebagai sesuatu yang dibayangkan “karena para anggota dari sebagian bangsa sampai anggota terkecil tidak pernah tahu sebagian besar dari para pengikut, saling bertemu, atau pernah berbincang, namun dalam pikiran dari sebagian penghuni tetap hidup gambaran dari kesatuannya” (1983: 6).

Selanjutnya Ben dalam menjelaskan komunitas terbayang mendeskripsikan 3 prasyarat yakni; ada batas, kedaulatan dan sebagai komunitas. Batas berarti ruang kewilayahan dimana sebauh bangsa memiliki luas tertentu, sementara bangsa juga memiliki kedaulatan dimana ia bisa saja mengganti dari satu model pemerintahan ke model pemerintahan lain, dan terakhir adalah komunitas dimana sebuah bangsa juga memiliki perasaan solidaritas diantara warganya termasuk perasaan ketidak-adilan dll.

Kritik mengguncang teori komunitas terbayang dari Ben datang dari pengalaman negeri Bosnia atau kebangkitan negara bangsa yang terbentuk karena semangat agama seperti di Iran dan Turki. Pengalaman negara bangsa itu sedikit berbeda dengan apa yang menjadi prasyarat Ben, dalam wilayah, kedaulatan, dan solidaritas.

Papua, Timor, Aceh dan Nation-State Kita

Teori negara bangsa Ben lebih tepat digunakan dalam meneropong fenomena terbentuknya intergrasi dalam sebuah negara bangsa. Sementara itu, sisi menarik yang sayangnya kurang mudah ditelaah dari teori ben tentang Imagined Communities adalah apabila terjadi disintegrasi dalam sebuah negara bangsa seperti yang pernah terjadi di Indonesia dengan Timor-Timur tahun 1998. Atau baru-baru ini Papua yang menginginkan lepas dari Indonesia.

Jika kita tetap menarik pelajaran dari Ben, bahwa apa yang dibayangkan antara orang Indonesia mungkin berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh orang Papua. Ortodoksi bayangan kebangsaan kita terbentur dalam batas wilayah, kedaulatan dan akhirnya ke solidaritas antarpenduduk yang dipaksakan di Papua.

Saya kira, melihat peran historis dan kesejarahan di masa lalu, memang harus diakui bahwa kolonialisme barat telah cukup membantu bagi ‘naturalisasi konsep’ terciptanya komunitas terbayang bernama Indonesia. Di luar itu perang perebutan Papua tahun 1964, nation-state bernama Indonesia di Papua perlu diresapkan kembali kepada warga Papua, agar jangan sampai dikiranya warga Papua, Indonesia justru dianggap kolonialis model baru yang harus dienyahkan demi integrasi negara bangsa Papua ke depan. (Arif Burhan)


Harper and Row
Cet 2, 1967
391 hlm.
Lawas, eks perpus, cover lecet
Rp. 55.000,-